Senin, 07 Oktober 2013

KEHILANGAN HASIL PADI SAWAH



INFORMASI

Produksi padi yang melimpah pada saat musim panen memerlukan penanganan pascapanen yang serius. Penanganan pascapanen secara tidak tepat dapat menimbulkan kerugian, terutama susut atau kehilangan baik mutu maupun fisik. Teknologi pasca panen padi telah banyak dihasilkan, namun tidak semua diadopsi petani. Misalnya rekayasa pemanenan padi dengan sistem beregu yang dilengkapi dengan mesin perontok padi dapat menekan kehilangan panen dan perontokan menjadi 5,9%
Penggunaan alat pemanen padi tipe sisir (striper) dapat menekan kehilangan panen menjadi antara 2-3 % .  Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor: (1) teknologi yang dihasilkan belum sesuai baik secara teknis, ekonomis maupun sosial budaya lokal, yang kondisinya beragam di setiap wilayah, (2) sistem insentif harga dasar terhadap gabah atau beras yang mutunya lebih baik, tidak dapat dinikmati petani, karena sistem pasar yang berlaku di masyarakat, sehingga petani mengabaikan cara penanganan padi yang baik. Masalah utama dalam pasca panen padi yang sampai dengan saat ini belum terpecahkan adalah kehilangan pada berbagai tahapan proses pascapanen. Sebagai contoh, pada tahun 1986/87 total kehilangan pascapanen padi mulai dari panen hingga penyimpanan berkisar 20,30% (BPS, 1987) dan sampai dengan tahun 2005 belum menunjukkan adanya penurunan, yaitu total kehilangan masih lebih dari 20% (BPS, 2005).
Dari berbagai sumber yang diperoleh, angka kehilangan hasil tidak konsisten dan berbeda-beda untuk masing-masing daerah. Pada beberapa kasus pengukuran kehilangan pada tahapan pemanenan bahkan diperoleh angka negatif, sehingga sering timbul kesulitan dalam memvalidasi data kehilangan. Penyebab beragamnya angka kehilangan hasil yaitu penggunaan petak kontrol yang berbeda dan cara ploting yang tidak tepat Faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi tingkat kehilangan hasil panen adalah varietas padi, umur panen, alat dan cara panen, perilaku petani dan penderep, serta ekosistem.
Kegiatan pascapanen  padi meliputi kegiatan pemanenan, perontokan, pengangkutan, pengeringan, penggilingan, penyimpanan, dan pemasaran. Kehilangan hasil dapat terjadi pada setiap tahapan kegiatan pascapanen padi. Titik kritis terjadi pada tahapan pemanenan dan perontokan dengan tingkat kehilangan hasil yang paling tinggi. Diperkirakan kehilangan di tahapan tersebut lebih besar dari 9% (BPS, 1996).
Hasil penelitian dari tim peneliti Balitpa menunjukkan bahwa dengan perbaikan penanganan pascapanen, kehilangan hasil dapat ditekan menjadi 5,9%. Angka kehilangan hasil yang akurat sangat diperlukan dalam menentukan stok dan cadangan pangan dalam negeri, produksi beras secara nasional,
neraca perdagangan dan neraca ekspor dan impor beras.
Kehilangan hasil panen padi sawah selengkapnya dapat disebabkan sebagai berikut:

1. Pemanenan Padi
Pemanenan yang dilakukan sebelum umur optimal menyebabkan kualitas yang kurang baik karena tingginya persentase butir hijau pada gabah, sedangkan panen yang dilakukan setelah lewat masak akan menyebabkan jumlah gabah yang hilang karena rontok pada saat pemotongan akan besar.  Kehilangan gabah pada saat pemanenan berkisar antara 2,15 – 3,07%. Kehilangan hasil pada saat panen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya umur panen, kadar air panen, alat dan cara panen, seta perilaku tenaga pemanen tersebut.

2. Proses Penumpukan Padi
Penumpukan sementara padi biasa dilakukan setelah pemotongan padi untuk menunggu kesempatan melakukan pengumpulan dan penumpukan. Dalam satu tumpukan biasanya terdiri dari 5–10 rumpun, tergantung besarnya cakupan tangan masing-masing tenaga pemanen. Penumpukan padi tersebut diletakkan diatas hamparanbekas potongan padi. Tenaga pemanen melakukan penumpukan dengan sangat tergesa-gesa dan tanpa alas, untuk mendapatkan jumlah panen yang sebanyakbanyaknya, sehingga menimbulkan potensi kehilangan hasil yang cukup besar
Kehilangan hasil yang terjadi pada saat penumpukan pada ekosistem padi lahan irigasi terjadi kehilangan hasil sebesar 0,82%, sedangkan pada lahan tadah hujan terjadi kehilangan hasil pada proses penumpukan tersebut sebesar 0,37% dan pada ekosistem pasang surut sebesar 0,58%.

3. Pengumpulan Padi
Kegiatan pengumpulan padi dilakukan agar dalam melakukan perontokan tenaga pemanen tidak
berpindah pindah tetapi pada satu tempat yang sudah dipilih. Kehilangan terjadi karena gabah akan tercecer pada sepanjang perjalanan, umumnya dalam melakukan kegiatan ini tidak ada seorang pun yang melakukan dengan menggunakan wadah/alas untuk mengangkut. Persentase kehilangan hasil pada saat pengumpulan pada ekosistem padi lahan irigasi, tadah hujan, dan pasang surut, berturutturut
sebesar 1,16% , 0,57% dan 1,75%.

4. Perontokan Padi
Perontokan adalah proses terlepasnya gabah dari malainya, yang disebabkan oleh adanya gaya mekanis. Perontokan yang dilakukan dengan cara banting/gebot memberikan potensi kehilangan yang lebih besar. Hal ini disebabkan ketidak hati-hatian tenaga pemanen dalam melakukan penggebotan maupun penggunaan alas penggebotan yang relative sempit, sehingga banyak gabah yang terlempar keluar alas yang digunakan.
Proses penggebotan padi yang tidak maksimal dapat menyebabkan masih banyaknya gabah yang tertinggal pada jerami dan ikut terbuang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan hasil pada proses perontokan sebesar 1,98% pada ekosistem lahan irigasi, 1,05% pada ekosistem lahan tadah hujan dan 1,62% pada lahan pasang surut. Hal ini disebabkan adanya perbedaan alas perontokan.

5. Penundaan Perontokan Padi
Umumnya petani pantura melakukan penundaan perontokan, yang lamanya bervariasi antara 1-3 malam, bahkan pada system ceblokan penundaan perontokan dapat dilakukan sampai 5-7 hari  sehingga dapat menyebabkan terjadi kehilangan hasil dan penurunan kualitas gabah selama penundaan perontokan. Penurunan kualitas terjadi karena gabah tumbuh, berkecambah, gabah berwarna hitam karena busuk atau tumbuh jamur maupun beras berwarna kuning karena terjadinya proses reaksi browning enzimatis pada beras.
Kehilangan yang terjadi akibat penundaan perontokan atau penumpukan padi sebelum dirontok masing-masing sebesar 1,64% yang terjadi pada ekosistem padi lahan irigasi dan 1,27% yang terjadi  pada lahan tadah hujan dan 1,63% pada lahan pasang surut. Penundaan perontokan padi di sawah 1 malam dapat memberikan efek positif terhadap mutu seperti berkurangnya butir hijau pada gabah dan padi lebih rapuh sehingga mudah dirontok, namun terjadi pula penurunan kualitas karena terjadinya proses tumbuh maupun proses enzimatis sehingga gabah berkecambah atau berubah warna menjadi kuning dan busuk, terutama penundaan yang dilakukan lebih dari satu malam.

6. Butir Gabah Tak Terontok
Proses perontokan yang baik adalah apabila semua gabah bernas yang terdapat pada malai padi terlepas. Kehilangan hasil yang terjadi karena proses penundaan perontokan, proses perontokan dan gabah yang tidak terlepas dari jerami.
Dilahan irigasi penggebotan umumnya hanya dilakukan sebanyak 5-7 kali bantingan kemudian jerami dibuang, sedangkan yang dilakukan pada lahan tadah hujan frekuensi penggebotan sampai 10-12 kali, sehingga jerami yang dibuang benar-benar sudah bersih. Jumlah gabah yang tertinggal pada malai padi di ekosistem padi lahan irigasi sebesar 0,76 %, pada lahan tadah hujan sebesar 0,30 % dan 0,22% pada lahan pasang surut.

7. Penjemuran Gabah
Untuk menghasilkan beras dengan kualitas yang baik, gabah hasil panen secepatnya harus dilakukan penurunan kadar air baik dengan cara penjemuran dengan sinar matahari langsung ataupun dengan alat pengering buatan. Gabah yang mengalami keterlambatan pengeringan akan rendah kualitas beras, hal ini disebabkan karena gabah hasil panen dengan kadar air yang tinggi dan kondisi yang lembab, respirasi akan berjalan dengan cepat, akibatnya terjadi butir gabah yang busuk, berjamur, berkecambah maupun terjadi reaksi browning enzimatis yang dapat menyebabkan beras berwarna kuning atau kuning kecoklatan.
Kehilangan yang terjadi pada tahapan penjemuran umumnya disebabkan oleh (1) fasilitas penjemuran seperti lantai jemur maupun alas kurang baik, sehingga banyak gabah yang tercecer dan terbuang saat proses penjemuran dan (2) adanya gangguan hewan seperi ayam, burung, kambing dll. Kehilangan hasil pada tahapan pengeringan gabah pada ekosistem padi lahan irigasi sebesar 0,98%, untuk ekosistem padi lahan tadah hujan sebesar 1,05% dan pada ekosistem lahan pasang surut sebesar 1,52%

8. Penyimpanan
Penyimpanan gabah umumnya menggunakan dua cara yaitu penyimpanan sistem curah, gabah yang sudah kering kemudian dicurahkan pada satu tempat yang dianggap aman oleh gangguan baik hama maupun cuaca dan cara penyimpanan dengan menggunakan kemasan/wadah seperti, karung plastik, karung goni, pengki dan tenggok. Kehilangan hasil saat penyimpanan disebabkan oleh kondisi kemasan, tempat penyimpanan, gangguan hama dan penyakit gudang dan keadaan cuaca setempat. Kadar air gabah akan mengikuti kondisi keseimbangan dengan udara luar.
Pada wadah yang kedap udara umumnya kadar air penyimpanan tidak akan banyak mengalami perubahan, sedangkan pada kondisi wadah yang tidak kedap udara, kadar air gabah akan mengikuti perubahan sesuai dengan kelembaban udara sekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan hasil pada tahapan penyimpanan gabah pada ekosistem padi lahan irigasi sebesar 1,37, pada ekosistem padi lahan tadah hujan sebesar 1,28% dan pada ekosistem padi lahan pasang surut sebesar 2,24% .

9. Penggilingan
Proses penggilingan adalah proses pengupasan gabah untuk mengahasilkan beras yaitu dengan cara memisahkan lapisan lemma dan palea dan mengeluarkan biji berasnya. Pada proses ini ada 2 tipe alat penggilingan padi yang digunakan, yaitu tipe penggilingan padi 1 phase (single  pass) dan tipe penggilingan padi 2 phase (double  pass).
Penggilingan 1 phase yaitu proses pemecah kulit dan penyosoh menyatu sekaligus, gabah  masuk padahoper pemasukan dan keluar sudah menjadi beras putih. Sedangkan pada penggilingan 2 phase, dipisahkan antara proses pemecah kulit dan proses penyosohan, sehingga merupakan dua tahap proses kegiatan.
Kehilangan hasil pada tahapan penggilingan umumnya disebabkan oleh penyetelan blower penghisap dan penghembus sekam dan bekatul, penyetelan yang tidak tepat dapat menyebabkan banyak gabah yang terlempar ikut ke dalam sekam atau beras yang terbawa kedalam dedak, hal ini akan menyebabkan nilai rendemen giling yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan hasil pada tahapan penggilingan di agroekosistem padi lahan irigasi sebesar 2,16%, pada agroekosistem padi lahan tadah hujan sebesar 2,35% dan pada agroekosistem padi lahan pasang surut sebesar 2,60%

KESIMPULAN
            Kehilangan hasil pada ekosistem padi lahan irigasi sebesar 13,35% yang terdiri dari kehilangan pada tahapan pemanenan, yang terdiri dari kehilangan pemotongan 2,57 %, kehilangan penumpukan 0,82 % dan kehilangan pengumpulan jerami sebesar 1,16 %. Kehilangan pada tahapan perontokan yang terdiri dari kehilangan penundaan perontokan 1,64 %, kehilangan tercecer 1,98 %, dan gabah tak terontok 0,76 %. Kehilangan pada tahapan penjemuran 0,98 %, kehilangan pada tahapan penyimpanan 1,37% % dan kehilangan pada tahapan penggilingan 2,16 %. Total kehilangan hasil panen padi sawah mulai  dari lahan sampai pada penggilingan adalah sebesar 26.79%.

Sumber: dari berbagai sumber

silahkan anda baca artikel yang sangat menggelitik ini..