Produksi padi yang melimpah pada saat
musim panen memerlukan penanganan pascapanen yang serius. Penanganan pascapanen
secara tidak tepat dapat menimbulkan kerugian, terutama susut atau kehilangan
baik mutu maupun fisik. Teknologi pasca panen padi telah banyak dihasilkan,
namun tidak semua diadopsi petani. Misalnya rekayasa pemanenan padi dengan
sistem beregu yang dilengkapi dengan mesin perontok padi dapat menekan
kehilangan panen dan perontokan menjadi 5,9%
Penggunaan alat pemanen padi tipe sisir
(striper) dapat menekan kehilangan panen menjadi antara 2-3 % . Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor:
(1) teknologi yang dihasilkan belum sesuai baik secara teknis, ekonomis maupun
sosial budaya lokal, yang kondisinya beragam di setiap wilayah, (2) sistem insentif
harga dasar terhadap gabah atau beras yang mutunya lebih baik, tidak dapat
dinikmati petani, karena sistem pasar yang berlaku di masyarakat, sehingga
petani mengabaikan cara penanganan padi yang baik. Masalah utama dalam pasca
panen padi yang sampai dengan saat ini belum terpecahkan adalah kehilangan pada
berbagai tahapan proses pascapanen. Sebagai contoh, pada tahun 1986/87 total
kehilangan pascapanen padi mulai dari panen hingga penyimpanan berkisar 20,30%
(BPS, 1987) dan sampai dengan tahun 2005 belum menunjukkan adanya penurunan,
yaitu total kehilangan masih lebih dari 20% (BPS, 2005).
Dari berbagai sumber yang diperoleh,
angka kehilangan hasil tidak konsisten dan berbeda-beda untuk masing-masing
daerah. Pada beberapa kasus pengukuran kehilangan pada tahapan pemanenan bahkan
diperoleh angka negatif, sehingga sering timbul kesulitan dalam memvalidasi
data kehilangan. Penyebab beragamnya angka kehilangan hasil yaitu penggunaan
petak kontrol yang berbeda dan cara ploting yang tidak tepat Faktor-faktor
lainnya yang mempengaruhi tingkat kehilangan hasil panen adalah varietas padi,
umur panen, alat dan cara panen, perilaku petani dan penderep, serta ekosistem.
Kegiatan pascapanen padi meliputi kegiatan pemanenan, perontokan,
pengangkutan, pengeringan, penggilingan, penyimpanan, dan pemasaran. Kehilangan
hasil dapat terjadi pada setiap tahapan kegiatan pascapanen padi. Titik kritis
terjadi pada tahapan pemanenan dan perontokan dengan tingkat kehilangan hasil
yang paling tinggi. Diperkirakan kehilangan di tahapan tersebut lebih besar
dari 9% (BPS, 1996).
Hasil penelitian dari tim peneliti
Balitpa menunjukkan bahwa dengan perbaikan penanganan pascapanen, kehilangan
hasil dapat ditekan menjadi 5,9%. Angka kehilangan hasil yang akurat sangat diperlukan
dalam menentukan stok dan cadangan pangan dalam negeri, produksi beras secara
nasional,
neraca
perdagangan dan neraca ekspor dan impor beras.
Kehilangan
hasil panen padi sawah selengkapnya dapat disebabkan sebagai berikut:
1.
Pemanenan Padi
Pemanenan yang dilakukan sebelum umur
optimal menyebabkan kualitas yang kurang baik karena tingginya persentase butir
hijau pada gabah, sedangkan panen yang dilakukan setelah lewat masak akan
menyebabkan jumlah gabah yang hilang karena rontok pada saat pemotongan akan
besar. Kehilangan gabah pada saat
pemanenan berkisar antara 2,15 – 3,07%. Kehilangan hasil pada saat panen dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya umur panen, kadar air panen, alat
dan cara panen, seta perilaku tenaga pemanen tersebut.
2.
Proses Penumpukan Padi
Penumpukan sementara padi biasa
dilakukan setelah pemotongan padi untuk menunggu kesempatan melakukan
pengumpulan dan penumpukan. Dalam satu tumpukan biasanya terdiri dari 5–10
rumpun, tergantung besarnya cakupan tangan masing-masing tenaga pemanen.
Penumpukan padi tersebut diletakkan diatas hamparanbekas potongan padi. Tenaga
pemanen melakukan penumpukan dengan sangat tergesa-gesa dan tanpa alas, untuk mendapatkan
jumlah panen yang sebanyakbanyaknya, sehingga menimbulkan potensi kehilangan hasil
yang cukup besar
Kehilangan hasil yang terjadi pada saat penumpukan
pada ekosistem padi lahan irigasi terjadi kehilangan hasil sebesar 0,82%,
sedangkan pada lahan tadah hujan terjadi kehilangan hasil pada proses
penumpukan tersebut sebesar 0,37% dan pada ekosistem pasang surut sebesar
0,58%.
3.
Pengumpulan Padi
Kegiatan pengumpulan padi dilakukan agar
dalam melakukan perontokan tenaga pemanen tidak
berpindah
pindah tetapi pada satu tempat yang sudah dipilih. Kehilangan terjadi karena
gabah akan tercecer pada sepanjang perjalanan, umumnya dalam melakukan kegiatan
ini tidak ada seorang pun yang melakukan dengan menggunakan wadah/alas untuk mengangkut.
Persentase kehilangan hasil pada saat pengumpulan pada ekosistem padi lahan
irigasi, tadah hujan, dan pasang surut, berturutturut
sebesar
1,16% , 0,57% dan 1,75%.
4.
Perontokan Padi
Perontokan adalah proses terlepasnya
gabah dari malainya, yang disebabkan oleh adanya gaya mekanis. Perontokan yang dilakukan
dengan cara banting/gebot memberikan potensi kehilangan yang lebih besar. Hal
ini disebabkan ketidak hati-hatian tenaga pemanen dalam melakukan penggebotan
maupun penggunaan alas penggebotan yang relative sempit, sehingga banyak gabah
yang terlempar keluar alas yang digunakan.
Proses penggebotan padi yang tidak maksimal
dapat menyebabkan masih banyaknya gabah yang tertinggal pada jerami dan ikut
terbuang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan hasil pada proses
perontokan sebesar 1,98% pada ekosistem lahan irigasi, 1,05% pada ekosistem
lahan tadah hujan dan 1,62% pada lahan pasang surut. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan alas perontokan.
5.
Penundaan Perontokan Padi
Umumnya petani pantura melakukan
penundaan perontokan, yang lamanya bervariasi antara 1-3 malam, bahkan pada
system ceblokan penundaan perontokan dapat dilakukan sampai 5-7 hari sehingga dapat menyebabkan terjadi kehilangan
hasil dan penurunan kualitas gabah selama penundaan perontokan. Penurunan
kualitas terjadi karena gabah tumbuh, berkecambah, gabah berwarna hitam karena
busuk atau tumbuh jamur maupun beras berwarna kuning karena terjadinya proses
reaksi browning enzimatis pada beras.
Kehilangan yang terjadi akibat penundaan
perontokan atau penumpukan padi sebelum dirontok masing-masing sebesar 1,64%
yang terjadi pada ekosistem padi lahan irigasi dan 1,27% yang terjadi pada lahan tadah hujan dan 1,63% pada lahan
pasang surut. Penundaan perontokan padi di sawah 1 malam dapat memberikan efek
positif terhadap mutu seperti berkurangnya butir hijau pada gabah dan padi
lebih rapuh sehingga mudah dirontok, namun terjadi pula penurunan kualitas
karena terjadinya proses tumbuh maupun proses enzimatis sehingga gabah berkecambah
atau berubah warna menjadi kuning dan busuk, terutama penundaan yang dilakukan
lebih dari satu malam.
6.
Butir Gabah Tak Terontok
Proses perontokan yang baik adalah
apabila semua gabah bernas yang terdapat pada malai padi terlepas. Kehilangan
hasil yang terjadi karena proses penundaan perontokan, proses perontokan dan
gabah yang tidak terlepas dari jerami.
Dilahan irigasi penggebotan umumnya hanya
dilakukan sebanyak 5-7 kali bantingan kemudian jerami dibuang, sedangkan yang
dilakukan pada lahan tadah hujan frekuensi penggebotan sampai 10-12 kali,
sehingga jerami yang dibuang benar-benar sudah bersih. Jumlah gabah yang tertinggal
pada malai padi di ekosistem padi lahan irigasi sebesar 0,76 %, pada lahan
tadah hujan sebesar 0,30 % dan 0,22% pada lahan pasang surut.
7.
Penjemuran Gabah
Untuk menghasilkan beras dengan kualitas
yang baik, gabah hasil panen secepatnya harus dilakukan penurunan kadar air baik
dengan cara penjemuran dengan sinar matahari langsung ataupun dengan alat pengering
buatan. Gabah yang mengalami keterlambatan pengeringan akan rendah kualitas beras,
hal ini disebabkan karena gabah hasil panen dengan kadar air yang tinggi dan
kondisi yang lembab, respirasi akan berjalan dengan cepat, akibatnya terjadi
butir gabah yang busuk, berjamur, berkecambah maupun terjadi reaksi browning enzimatis
yang dapat menyebabkan beras berwarna kuning atau kuning kecoklatan.
Kehilangan yang terjadi pada tahapan
penjemuran umumnya disebabkan oleh (1) fasilitas penjemuran seperti lantai jemur
maupun alas kurang baik, sehingga banyak gabah yang tercecer dan terbuang saat
proses penjemuran dan (2) adanya gangguan hewan seperi ayam, burung, kambing
dll. Kehilangan hasil pada tahapan pengeringan gabah pada ekosistem padi lahan
irigasi sebesar 0,98%, untuk ekosistem padi lahan tadah hujan sebesar 1,05% dan
pada ekosistem lahan pasang surut sebesar 1,52%
8.
Penyimpanan
Penyimpanan gabah umumnya menggunakan
dua cara yaitu penyimpanan sistem curah, gabah yang sudah kering kemudian
dicurahkan pada satu tempat yang dianggap aman oleh gangguan baik hama maupun
cuaca dan cara penyimpanan dengan menggunakan kemasan/wadah seperti, karung plastik,
karung goni, pengki dan tenggok. Kehilangan hasil saat penyimpanan disebabkan
oleh kondisi kemasan, tempat penyimpanan, gangguan hama dan penyakit gudang dan
keadaan cuaca setempat. Kadar air gabah akan mengikuti kondisi keseimbangan dengan
udara luar.
Pada wadah yang kedap udara umumnya
kadar air penyimpanan tidak akan banyak mengalami perubahan, sedangkan pada
kondisi wadah yang tidak kedap udara, kadar air gabah akan mengikuti perubahan
sesuai dengan kelembaban udara sekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kehilangan hasil pada tahapan penyimpanan gabah pada ekosistem padi lahan
irigasi sebesar 1,37, pada ekosistem padi lahan tadah hujan sebesar 1,28% dan
pada ekosistem padi lahan pasang surut sebesar 2,24% .
9.
Penggilingan
Proses penggilingan adalah proses
pengupasan gabah untuk mengahasilkan beras yaitu dengan cara memisahkan lapisan
lemma dan palea dan mengeluarkan biji berasnya. Pada proses ini ada 2 tipe alat
penggilingan padi yang digunakan, yaitu tipe penggilingan padi 1 phase
(single pass) dan tipe penggilingan padi
2 phase (double pass).
Penggilingan 1 phase yaitu proses
pemecah kulit dan penyosoh menyatu sekaligus, gabah masuk padahoper pemasukan dan keluar sudah
menjadi beras putih. Sedangkan pada penggilingan 2 phase, dipisahkan antara
proses pemecah kulit dan proses penyosohan, sehingga merupakan dua tahap proses
kegiatan.
Kehilangan hasil pada tahapan
penggilingan umumnya disebabkan oleh penyetelan blower penghisap dan penghembus
sekam dan bekatul, penyetelan yang tidak tepat dapat menyebabkan banyak gabah
yang terlempar ikut ke dalam sekam atau beras yang terbawa kedalam dedak, hal
ini akan menyebabkan nilai rendemen giling yang rendah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kehilangan hasil pada tahapan penggilingan di agroekosistem
padi lahan irigasi sebesar 2,16%, pada agroekosistem padi lahan tadah hujan
sebesar 2,35% dan pada agroekosistem padi lahan pasang surut sebesar 2,60%
KESIMPULAN
Kehilangan
hasil pada ekosistem padi lahan irigasi sebesar 13,35% yang terdiri dari
kehilangan pada tahapan pemanenan, yang terdiri dari kehilangan pemotongan 2,57
%, kehilangan penumpukan 0,82 % dan kehilangan pengumpulan jerami sebesar 1,16
%. Kehilangan pada tahapan perontokan yang terdiri dari kehilangan penundaan
perontokan 1,64 %, kehilangan tercecer 1,98 %, dan gabah tak terontok 0,76 %.
Kehilangan pada tahapan penjemuran 0,98 %, kehilangan pada tahapan penyimpanan
1,37% % dan kehilangan pada tahapan penggilingan 2,16 %. Total kehilangan hasil
panen padi sawah mulai dari lahan sampai
pada penggilingan adalah sebesar 26.79%.
Sumber: dari berbagai sumber
silahkan anda baca artikel yang sangat menggelitik ini..
silahkan anda baca artikel yang sangat menggelitik ini..